DEKLARASI
DJUANDA
Deklarasi Djuanda yang
dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat
itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang
menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di
antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Isi dari Deklarasi Juanda
yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan
yang mempunyai corak tersendiri
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini
sudah merupakan satu kesatuan
- Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat
memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut
mengandung suatu tujuan :
- Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik
Indonesia yang utuh dan bulat
- Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai
dengan azas negara Kepulauan
- Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang
lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI
1.
Perairan Kepulauan
Dalam pasal 3 ayat 3
undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Kepulauan
Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari
pantai.”
Karena Konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic
state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan
hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya.
2.
Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat
(1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS
1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada
sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi,
“perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian
perairan pedalaman negara tersebut”.[1] Sedangkan
dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk
kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu
garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia
terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman
menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi
darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan
Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis
air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan
Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun 1960
(sekarang UU No. 6 Tahun 1996),[2] hukum
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah
dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi
semua kapal, di laut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing
dan di perairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi
Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi
laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung,
pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain.
Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri
dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula
atas laut pedalaman dan perairan daratan.
Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah
merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional.
Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak
berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (pasal 17
konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman (perairan
kepulauan atas dua golongan), yaitu:
- Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas.
Perairan pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal
seas.
- Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No.
4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya
dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai
kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah
bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan
hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh
Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di
perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar
karena kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai,
teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan
lain-lainnya.[3]Sebagai
tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS
III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea yang ketiga.
Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari
perkembangan wacana hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial
dan jalur tambahan dalam era yang berbeda, berikut ini kita akan mengkaji
perbedaan antara Konvensi Jenewa 1957 dengan United Nations Convention
on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS III 1982) yang khusus membahas
tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan ;
Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan
meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak
lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh perumusannya yang jelas dalam
konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930.
Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan
perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting
diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan
garis pangkal.
Pasal 1: menyatakan
bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang terletak
disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.
Pasal 2: menyatakan bahwa
kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga ruang udara
diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.
Pasal 3: memuat
ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai
garis pangkal biasa (“normal” base-line)
Pasal 4:
mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight
base-lines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam
keadaan-keadaan tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam
hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus,
yakni:
- Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam
atau laut masuk jauh kedalam.
- Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak
jauh dari pantai.
Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di
dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus
dari ujung ke ujung.
Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang terlalu
banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada
sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah
daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, (ayat 2).
Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau atau
bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air diwaktu pasang
surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah didirikan
mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas
permukaan air (ayat 3).
Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan
sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut
lepas. (ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai penetapan
garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan
garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa
yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan
kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana, dan
seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara
penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara.
Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila
kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut
sebagai garis pangkal biasa (normal base-line). Ketentuan ini berarti
suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi
syarat-syarat ayat (1).
Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis pangkal
lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember
1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian
Fisheries Case).
Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam
konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi keputusan
Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59”…………, tidak
mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan dengan
perkara yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan
garis pangkal yang – dengan syarat-syarat tertentu – berlaku umum.[4]
Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam UNCLOS
IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain diwilayah daratan
dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya, juga meliputi laut
teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta lapisan tanah
dibawahnya.
Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis
pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang
disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke
arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut
sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial
antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas
damai.
Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa
melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang
menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun
tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya
diperluas selebar 12 mil laut diukur dari batas laut teritorial.
Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang
penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan serta menjalankan
tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain:
a.
Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari luar;
b.
Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);
c.
Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);
d.
Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);
e.
Kepentingan perikanan
f.
Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.
Oleh karena itu, penentuan
lebar laut 3 mil yang tercantum dalam “Territoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1
a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur
dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian
pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied) dari
Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan
dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan sebaik-baiknya
kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam
batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena itu, pada tahun 1996
pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas
laut teritorial seluas 12 mil laut.
Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu daerah laut
yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut
dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan adanya
lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan
Malaysia, dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan
perairan-perairan tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.
Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu
untuk
- Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum
tentang ke-Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang
berlaku di wilayah atau laut wilayah RI.
- Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum
tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.[5]
3. Laut teritorial
Dalam pasal 3 ayat 2
undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur
laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang
ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia. Definisi
laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982.
Dalam ketentuan ini (UNCLOS
III), batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari
garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai
karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari
sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan
kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis
batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan serta lintas damai.
4. Laut Tambahan
Zona tambahan didalam pasal
24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang
bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan
pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
- Mencegah pelanggaran-pelanggaran
perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs),
perpajakan (fiskal), keimigrasiandan kesehatan atau saniter.
- Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau
peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan
tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil
laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya
mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang
dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak
berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh
melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu
diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan
itu:
Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar
jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah garis pangkal.
Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh
melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut
diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara
praktis lebar zona tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari
garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu
terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya
memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1
Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial
dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan
hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
5. Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI)
Indonesia berhak dan telah
menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48
dan 57). Dalam ZEE, Indonesia mempunyai:
- Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di
dalamnya;
- Yurisdiksi untuk: (a) Mendirikan, mengatur dan
menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan
lainnya (Pasal 56 dan 60); (b) Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan; (c)
Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
- Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan
dalam konvensi.
Di ZEE, negara-negara lain
mempunyai: (1) Kebebasan berlayar dan terbang; (2) Hak meletakkan kabel dan
pipa-pipa, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum laut tentang Landas Kontinen dan ZEE; (3)
Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut dalam pasal 88 sampai 115, yang
mencakup berbagai bidang yang ada hubungannya dengan kapal dan pelayaran; (4)
Akses terhadap. surplus perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.
Tindakan-tindakan yang
diperlukan adalah:
- Menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu
peta yang disertai koordinat dan titik-titiknya;
- Menetapkan dalam persetujuan-persetujuan dengan
negara tetangga tentang batas-batas dan ZEE Indonesia yang mungkin tumpang
tindih dengan ZEE negara tetangga. Batas-batas landas kontinen yang telah
ditetapkan dengan negara-negara tetangga dalam berbagai persetujuan belum
tentu dapat dianggap sama dengan batas ZEE, karena kedua konsepsi mi (ZEE
dan landas kontinen) adalah 2 konsepsi yang berbeda dan masing-masing
merupakan konsep yang sui generis.
- Mengumumkan dan mendepositkan copy dan peta-peta
atau daftar koordinat-koordinat tersebut pada Sekjen PBB (Pasal 75)
- Mengumumkan secara wajar pembangunan dan letak pulau-pulau
buatan, instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, serta safety
zonenya dan membongkarnya kalau tidak dipakai lagi (Pasal 60
mengatur soal ini secara terperinci);
- Indonesia harus menetapkan allowable catch dan
sumber-sumber perikanan ZEE-nya (Pasal 61). Indonesia sebagai negara
pantai juga berkewajiban memelihara, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang
ada, agar sumber-sumber perikanannya tidak over-exploited demi
untuk menjaga maximum sustainable yield. Untuk
maksud-maksud ini, Indonesia dirasa perlu bekerja sama dengan
negara-negara lain yang berkepentingan dan dengan organisasi-organisasi
internasional yang kompeten;
- Untuk mencapai optimum utilization dan
kekayaan alam tersebut, Indonesia harus menetapkan its capacity to
harvest dan memberikan kesernpatan kepada negara lain di
kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai dan negara-negara yang
secara geografis kurang beruntung, untuk memanfaatkan the surplus
of the allowable catch yang tidak dimanfaatkan oleh Indonesia
(Pasal 62, 69, 70, 71, dan 72 mengatur soal pemanfaatan surplus);
- Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE,
Indonesia perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang
diperkenankan oleh konvensi (Pasal 62 ayat 4), misalnya tentang izin
penangkapan ikan, penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, pembagian
musim dan daerah penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang
boleh ditangkap dan lain-lain;
- Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan atau
dengan organisasi-organisasi regional/internasional yang wajar tentang
pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di ZEE
2 negara atau Iebih (shared stocks), highly migratory
species dan memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang marine
mammals, anadromous dancatadromous species dan sedentary
species.
6. Landas
Kontinen
Negara pantai termasuk
Indonesia berhak mempunyai landas kontinen di luar laut wilayahnya throughout
the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the
continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis pantai (Pasal
76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar dan continental
marginnya jika continental margin tersebut berada di
luar batas 200 mil.
Batas terluar dan landas
kontinen di continental margin yang terletak di luar 200 mil
ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan kedalaman air
2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus yang
masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat
diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang
akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB (Pasal 76
ayat 9).
Berlainan dengan hak negara
pantai atas ZEE (yang memungkinkan surplus perikanan diambil oleh negara lain)
hak-hak berdaulat negara pantai atas kekayaan alam, landas kontinennya
adalah exclusive dan tidak perlu dibagi-bagi dengan negara
lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun negara-negara yang
bersangkutan belum memanfaatkannya.
Selanjunya dijelaskan,
negara pantai harus menyumbangkan sebagian dan hasil kekayaan alam landas
kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil kepada Badan Otorita
Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan itu adalah 1 persen dan
produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap tahun naik dengan 1
persen sehingga kontribusi tersebut maksimum menjadi 7 persen mulai tahun
produksi ke-12.
Tindakan-tindakan lanjutan
yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI adalah:
- Indonesia harus menyelidiki apakah secara geologis
Indonesia mempunyaicontinental margin di luar batas 200 mil.
Jika ada, maka kita harus menetapkan batas tersebut sesuai dengan
ketentuan-ketentuan konvensi dan mendepositkan peta disertai koordinat
batas-batasnya pada Sekjen PBB dan International Authority (Pasal
84) yang pembentukannya pada waktu ini sedang dirundingkan;
- Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas
kontinennya dengan negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam,
Australia, Philipina dan Malaysia di Kalimantan Timur;
- Juga UU Landas Kontinen Indonesia No. 7/1973 kiranya
harus diperbaharui untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru
landas kontinen mi;
- Perlu ditata kembali UU/ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan penyelidikan ilniah, pemeliharaan lingkungan,
pengamanan instalasi-instalasi, eksploitasi dan explorasi di landas
kontinen serta penentuan jurisdiksi imigrasi, bea cukai, masalah-rnasalah perdata
dan pidana di landas kontinen Indonesia.
Referensi :
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1978.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.